Perkenalkan, Namaku Pram

by - Mei 11, 2018

Potret Pram pada Dinding Memorabilia.


Pram, yang bernama lengkap Pramoedya Ananta Mastoer, pertama kali memperkenalkan dirinya kepada saya melalui tulisan-tulisannya. Kali ini Pram mempernalkan dirinya melalui kisah hidupnya yang terangkum dalam sebuah pameran bertajuk Namaku Pram. Pameran ini digelar di dia.lo.gue Artspace, Kemang sejak 17 April hingga 20 Mei mendatang. Penggagas pameran ini tidak lain adalah Titimangsa Foundation, yang juga menjadi penggagas pertunjukan teater Bunga Penutup Abad adaptasi dari roman Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pram.

Hal pertama yang tertangkap mata saya ketika memasuki dia.lo.gue adalah dinding kehidupan Pram. Di sini ditampilkan kehidupan Pram secara kronologis mulai dari ia lahir hingga tiada, lengkap dengan daftar karya yang ia tulis—termasuk yang telah hilang.

Dengan berbagai cara Pram mencerahkan saya. Setelah berhasil dengan tulisannya, kali ini giliran lembaran kertas semen dan batu baterai yang mengambil peran. Di tengah ruang pameran, dalam kotak kaca, berjejer lembaran kertas bekas semen, media Pram menulis saat ia menjadi tahanan politik sebab tidak adanya kertas. Di sisi lain ruang pameran, ditayangkan sebuah video. Dalam video tersebut ada yang membeberkan bahwa Pram memecah batu baterai dan mengambil serbuk hitamnya untuk dioles di pita mesin ketik yang kehabisan tinta. Saya, yang hidup dengan berbagai macam fasilitas memadai dan masih saja mudah mengeluh serta malas untuk belajar menulis ini, langsung tertampar.

Saya jadi teringat kutipan dari salah satu karya monumental Pram, Jejak Langkah. "Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan." Sial betul. Pram selalu berhasil menyentuh pedalaman banyak orang melalui tulisannya. Tidak heran karena ia telah berhasil menyelami pedalamannya sendiri sebagai seorang manusia. Pram seakan ingin setelah menyaksikan pameran ini setiap pengunjung tersadar dan berani berdialog dengan dirinya sendiri, "Sekarang saya tahu di mana tempat saya. Dan saya ingin pindah ke tempat yang lebih baik, dengan usaha yang lebih keras."


Kamar kerja Pram.
Ketika melewati pintu menuju kamar kerja Pram, saya langsung merinding. Di atas meja terletak mesin ketik yang biasa dipergunakannya. Saya membayangkan bagaimana pada dini hari suara mesin ketik menggema dari sana, yang jika ditengok, sosok Pram dengan setelan kaos putih serta sarung favoritnya tengah sibuk mengetik dengan mulut tidak henti-hentinya mengepulkan asap kretek. 


Sketsa 'Bakar Sampah' oleh Rudy Dodo.
Setiap pagi dan sore Pram selalu membakar sampah, atau apapun
yang ia anggap sebagai sampah, Kadang, Pram juga membakar tulisan-tulisannya.
Di sebuah sudut ruang tengah terdapat cetakan sebagian karya Pram. Ada cetakan awal Anak Semua Bangsa oleh Hasta Mitra, sebelum hak ciptanya diserahkan kepada Lentera Dipantara. Ada pula beberapa cetakan karya Pram yang diterjemahkan ke bahasa lain.


Di halaman belakang dia.lo.gue terdapat kutipan dari berbagai karya Pram yang dicetak di atas kain putih dan digantungkan. Ketika angin berhembus, lembaran-lembaran kain itu melambai-lambai, berusaha mencapai pedalaman manusia yang membacanya.

You May Also Like

0 comments