“Tan wěnang kinawruhan ng katrsnān, wěnang
rinasan ri manah juga.”
“Asmara tidak bisa dipahami, cuma bisa dirasakan
akibatnya.”
—Aroma Karsa, Dee Lestari
Ada seutas benang yang menghubungkan
belasan karya Dewi “Dee” Lestari. Benang penghubung tersebut adalah dongeng.
Benang ini belum terputus dan masih beruntaian hingga karya terbarunya, Aroma
Karsa.
Perbedaan Aroma Karsa dengan roman sejarah lainnya adalah saling
berkelindannya penggalan sejarah periode Majapahit dengan kehidupan abad ke-21.
Dee merangkai keduanya ke dalam alur yang cukup seru, sehingga amat sayang jika
dilewatkan begitu saja. Kemudian, apa yang juga patut disayangkan adalah porsi
cerita mengenai penggalan sejarah ini yang hanya secuil jika dibandingkan
dengan tebalnya jumlah halaman. Dee memilih untuk lebih banyak mengulik tentang dunia olfaktori.
x
Sumber |
x
Raras Prayagung
telah akrab dengan dongeng melalui berbagai kisah yang dituturkan oleh neneknya,
Janirah Prayagung, semenjak ia masih kecil. Salah satu dongeng yang paling menarik baginya adalah
tentang Puspa Karsa, bunga yang konon mampu mengendalikan kehendak dan hanya
dapat dideteksi melalui aromanya. Di penghabisan usianya, Janirah tidak hanya
mewariskan perusahaan kosmetik bernama Kemara, tetapi juga obsesi untuk
menemukan Puspa Karsa. Obsesi tersebut ditinggalkan dalam lembaran lontar kuno
yang mendukung keberadaan Puspa Karsa.
Dalam mengurus Kemara, yang tumbuh menjadi perusahaan kosmetik nomor satu di Indonesia, Raras dibantu
oleh anaknya yang memiliki memiliki daya penciuman jauh melampaui
manusia pada umumnya, Tanaya Suma. Di kutub yang berlainan, seorang pemuda bernama Jati
Wesi, yang memiliki kemampuan seperti Tanaya Suma, harus bergulat dengan kemampuan hidungnya itu
dengan besar di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Dua kutub
kehidupan itu akhirnya dipertemukan setelah Jati Wesi mengimitasi Puspa Ananta,
produk parfum perusahaan Kemara.
Dengan adanya Jati Wesi
dan Tanaya Suma—lengkap dengan kemampuan hidung keduanya, Raras kembali
membentuk tim ekspedisi untuk mencari Puspa Karsa. Ia yakin Jati dan Suma mampu
mendeteksi aroma Puspa Karsa dan membawa keberhasilan pada ekspedisi kali ini.
Pada hari yang telah ditentukan, mereka memulai petualangan pencarian Puspa
Karsa yang konon katanya berada di sebuah desa bernama Dwarapala, di Gunung
Lawu sana.
Sesuatu yang Baru
Dengan mengungkap
kemisteriusan dunia olfaktori dalam lembaran Aroma Karsa, Dee sekali lagi
membuktikan bahwa ia selalu mampu menawarkan sesuatu yang baru dalam setiap
karyanya. Dee mengaku, kesulitan untuk menggambarkan ‘bagaimana hidung manusia bekerja’ menjadi tantangan seru baginya, yang mana masih sangat jarang penulis yang mau (atau mampu?) terjun ke dalam tantangan itu saking misteriusnya. Fakta inipun menjadi magnet tersendiri bagi pembaca, dibuktikan dengan respon pembaca di goodreads, atau dari resensi pembaca yang dapat ditemukan dari retweet Dee Lestari di akun twitternya.
Setidaknya Aroma
Karsa 'cukup' untuk mengobati kekecewaan saya pada Intelegensi
Embun Pagi (IEP). Meskipun 99 keping Supernova sejatinya
berhasil membuat perasaan saya pecah berkeping-keping, ke-antiklimaks-an IEP meretakkan
bayangan cerita yang sudah susah payah saya bangun secara apik di dalam kepala sejak
keping pertama. Jika dibandingkan, alur petualangan Jati Wesi dan Tanaya
Suma di Dwarapala jauh lebih mulus daripada alur petualangan tokoh Intelegensi
Embun Pagi di Bukit Jambul. Ini mengindikasikan semakin matangnya Dee
Lestari dalam mengolah cerita.
Spesifikasi buku
Judul: Aroma Karsa
Penulis: Dewi "Dee" Lestari
Penerbit: Bentang
Pustaka
Harga: Rp125.000
Tebal: 724 halaman
3 comments
tuku ga ya, review sing tak woco negatif2
BalasHapusAku mekgur iso ngomong: kabeh iku tergantung selera, Ma. Hehe.
HapusAku tempo hari sempat prediksi lanjutannya IEP, soal peretas puncak, meski nggak lagi Supernova itu muncul tahun berapa. Tapi kok aku lali prediksiku soale ndak ku catet, Ma. Wahahah.
BalasHapusYokpo sih resensi Aroma Karsa kok aku bahas e Supernova.
Susah fokus akutuu :") butuh Aqua limolas galon.